Sabtu, 11 Juli 2009

Pendidikan Indonesia di Mata Dunia

Menikmati pendidikan belasan tahun di Indonesia membuat saya miris. Penilaian berorientasi hasil, bukan proses. Pembinaan mengabaikan EQ dan SQ. Isinya hafalan, cara cepat membabat soal, dan “ilmu” yang ketika diingat malah makin membuat lupa — tanpa penekanan soal pemikiran kritis dan pembentukan sikap mental positif. Trilogi dasar aspek pendidikan kognitif-psikomotor-afektif (sengaja?) diabaikan.

Di Indonesia, kualitas guru di Indonesia juga masih (maaf) memprihatinkan. Lulusan sekolah menengah yang jempolan biasanya lari ke tempat yang mentereng: Ilmu Kedokteran, Teknik, Ekonomi, dan sebagainya. Praktis, mereka yang masuk Ilmu Pendidikan adalah “sisa” yang gagal bersaing masuk ke jurusan elit.

Contoh lain adalah UAN yang baru saja lewat beberapa waktu lalu. Sesuai PP 19/2005, UAN adalah indikator kelulusan. Namun banyak yang menilai UAN tak bermanfaat karena hanya mengkondisikan penyelewengan — demi anak didik dan sekolah terangkat citranya. Guru, kepala sekolah, dan bahkan pejabat daerah terlibat jadi tim sukses. Passing grade ditetapkan, tapi sarana, prasarana, dan sumberdaya belum terkondisikan. Begitu hasil jeblok, segala cara agar murid lulus, bukan dengan introspeksi. We want to look good, but didn’t want to be really good.

Sebagian menyayangkan jerih payah tiga tahun hanya ditentukan dalam tiga hari. Banyak murid cerdas diterima SPMB Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, tapi gagal dalam UAN. Murid cerdas justru terbebani mentalnya. Apalagi, andaikata tak lulus, mereka musti mengulang Paket C yang prestisenya kalah jauh. Dorongan belajar pada akhirnya justru sulit dibangkitkan dan hasil maksimal mustahil diperoleh.

Di sisi lain, kualitas pendidikan memang sedemikian rendahnya. Dengan passing grade yang cukup rendah dibanding negara tetangga, masih banyak juga yang tidak lulus. Ketika ada wacana untuk menaikkan standar, protes di sana-sini. Solusinya? Mungkin kembalikan saja ke sistem Ebtanas lama yang dirasa lebih “fair” dan tidak mengundang banyak masalah — sembari menunggu format UAN yang benar-benar pas buat negeri ini.

Atau, sebelum UAN, misalnya sekolah mengadakan seleksi intern sehingga hanya benar-benar murid yang siap yang bisa mengikuti UAN. Atau, UAN dilakukan dengan beberapa passing grade: yang nilainya sekian bisa mendaftar S1, yang sekian hanya bisa mendaftar diploma, yang kurang bisa mengulang tahun depan. Di Singapura, hanya murid tertentu yang qualified yang bisa lanjut S1, sementara sisanya masuk ke program diploma/poltek (atau TAFE kalau di Australia).

Atau, mencontek di negara maju, murid yang lulus UAN mendapat ijasah UAN, sementara yang tidak hanya memperoleh ijasah sekolah atau tanda tamat belajar. Di Inggris misalnya, setelah pendidikan wajib 16 tahun, murid bisa langsung kerja atau ambil A-Level selama dua tahun untuk persiapan kuliah. Di akhir program ada tes nasional dimana murid yang mendapat nilai A pada mata pelajaran utama bisa langsung masuk universitas favorit seperti Oxford, Cambridge, Imperial College, dan sebagainya.

Yang jelas, jika KBK/KTSP diterapkan, kita semua musti konsisten. Evaluasi harus berdasarkan proses. UAN tak perlu dipaksakan sebagai penentu kelulusan. Tapi sejauh mana kesiapan kita (terutama di daerah) untuk menerapkannya? Itu PR kita bersama.
Bookmark this post:
StumpleUpon Ma.gnolia DiggIt! Del.icio.us Blinklist Yahoo Technorati Simpy Spurl Reddit Google



Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.

0 komentar:

:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Hot News

 
Minima 4 coloum Blogger Template by Beloon-Online.
Simplicity Edited by Ipiet's Template